Biografi dan Pemikiran Filsafat Arthur Danto
Kontribusi Arthur Danto terhadap filsafat seni telah dibentuk oleh pengalamannya sebagai pembuat seni, kritikus seni, dan pecinta seni.
Ia memperoleh gelar sarjana seni rupa dari Wayne State University pada tahun 1948.
Selama dekade berikutnya, ukiran kayunya ditampilkan di tempat-tempat penting seperti Institut Seni Chicago, Institut Seni Detroit, Museum Los Angeles, Museum Seni Rupa.
Seni di Boston, dan Galeri Seni Nasional di Washington, DC Selama periode aktif pembuatan seni ini, ia menyelesaikan gelar doktor dalam bidang filsafat di Universitas Columbia pada tahun 1952 dan memulai pengangkatannya selama setengah abad di departemen filsafat Columbia.
Salah satu tujuan utama Danto selama tiga puluh tahun pertama karirnya adalah untuk membuat ide-ide para filsuf kontinental abad kesembilan belas dan kedua puluh seperti Hegel, Nietszche, dan Sartre dapat diakses dan berguna bagi para filsuf analitis.
Tulisan Danto tentang tokoh-tokoh ini jelas dan sering kritis.
Dia juga telah menerbitkan tinjauan mendalam bidang inti seperti filsafat ilmu, filsafat tindakan, teori pengetahuan, filsafat sejarah, dan psikologi filosofis.
Namun demikian, filsuf ini tetap menjadi seniman dan pecinta seni yang bersemangat.
Dia datang ke New York untuk belajar filsafat tepat ketika kota itu muncul sebagai pusat pencapaian inovatif di dunia seni.
Seni yang ditemui Danto di museum dan galeri yang sering dikunjunginya secara konseptual menantang.
Karya Andy Warhol tahun 1964, Brillo Box, memicu pertanyaan kunci: Apa yang membuat Brillo Box—replika kotak yang digunakan untuk mengirim paket bantalan Brillo—sebuah karya seni, cocok untuk dipajang di museum atau galeri, ketika objek yang tidak dapat dilihat secara kasat mata—sebenarnya Kotak Brillo yang dibuat secara massal oleh pabrikan—diturunkan ke pajangan atau gudang bahan makanan? Ini adalah pertanyaan filosofis, tetapi juga merupakan bagian integral dari pengalaman Brillo Box sebagai seni, karena pecinta seni yang bertemu Brillo Box awalnya terpaku oleh pertanyaan tentang statusnya.
Esai terkenal Danto “The Art World” (1964) mengawali sebuah jawaban yang ia perbaiki dan uraikan selama lima belas tahun berikutnya.
Danto bertanya bagaimana benda-benda biasa yang tidak pernah bisa menjadi seni di masa sebelumnya tidak hanya memperoleh kemungkinan menjadi seni pada tahun 1964 tetapi juga tampaknya menjadi seni yang diperlukan untuk saat itu.
Danto menganggap bahwa filsafat seharusnya menerima, bukan mengoreksi, fenomena praktik dan wacana dunia seni rupa.
Oleh karena itu, pertanyaan tradisional tentang filsafat seni dan estetika filosofis harus ditransformasikan agar sesuai dengan realitas dunia seni rupa.
Posisi Danto yang dielaborasi lebih lengkap, pertama kali disajikan secara lengkap dalam The Transfiguration of the Commonplace (1981), adalah bahwa sejarah seni dan teori seni menyumbangkan sifat-sifat pengalaman (walaupun tidak sensual) pada objek-objek tertentu.
Sifat-sifat ini membuat perbedaan dalam mengalami objek sebagai seni.
Tidak dialami pada momen sejarah-seni yang tepat, dan melalui lensa pemahaman teori-seni yang meyakinkan yang menawarkan hipotesis interpretatif yang mencerahkan, objek tidak naik ke status seni.
Melihat kesamaan antara fokus Danto pada praktik dunia seni dan pandangannya sendiri bahwa seniman, kritikus, dan kuratorlah yang menentukan objek mana yang harus diperlakukan sebagai seni, George Dickie menggembar-gemborkan munculnya teori seni institusional.
Namun, pandangan Danto berbeda dari Dickie dalam banyak hal.
Misalnya, ide kunci dalam pemikiran Danto, tetapi tidak dalam pemikiran Dickie, adalah bahwa seni secara khas mewujudkan makna, atau setidaknya mewujudkan pertanyaan.
Danto mengambil sejarah seni rupa modern sebagai pencarian jawaban tentang sifat umum (transhistoris) dan identitas seni.
Seni di zaman kita telah mencapai kesadaran diri filosofis yang mengakui daripada menutupi pertanyaan ontologis tentang sifatnya sendiri.
Tetapi dalam mengejar ontologinya sendiri, seni melampaui batasnya dan diubah menjadi filsafat.
Bertahan dalam tujuan transgresif ini, seni kemudian menjalankan tujuannya sendiri, berbalik dari kecemasan filosofis tentang apa seni itu seharusnya.
Dengan demikian, seni dibebaskan untuk menempatkan dirinya secara bebas dalam melayani keragaman nilai daripada merangkul nilai tunggal yang estetis unik.
Teori Danto tentang akhir seni bersifat empiris, bukan preskriptif.
Dia menjelaskan di mana seni telah tiba, dan mengapa, daripada mengarahkan ke mana seni harus pergi.
Di zaman pluralistik seperti sekarang ini, ketika segala sesuatunya mungkin, prinsip apa yang harus memandu kritikus seni? Pertanyaan ini, yang secara tradisional menjadi perhatian estetika filosofis, menjadi perhatian khusus Danto karena peran dunia seni lainnya yang diisinya, yaitu kritikus seni.
Pada tahun 1984 Danto menjadi kritikus seni untuk majalah The Nation.
Sebagian besar tulisannya sejak saat itu adalah kritik terhadap karya seni atau refleksi dari kritik seni.
Encounters and Reflection: Art in the Historical Present, kumpulan kritik seni, memenangkan Penghargaan Lingkaran Kritikus Buku Nasional untuk Kritik pada tahun 1990.
Secara umum, kritik seni Danto adalah tentang memahami proses artistik, tidak menilai hasil estetika.
Beberapa filsuf menyalahkannya karena mencap filsafat seninya dengan gaya kritik seninya dan dengan demikian memberikan prioritas pertimbangan artistik di atas nilai-nilai estetika.
Yang lain memujinya karena mengembangkan teori filosofis seni di mana kritik seni yang mencerahkan terjalin erat.
Danto berusaha menjelaskan daripada mengarahkan arah seni.
Kritik seni, sebagaimana Danto memahami praktiknya, menyebarkan penilaian artistik untuk mendeteksi konten suatu objek dan menjelaskan bagaimana objek itu mewujudkan atau menyajikan tentang apa itu.
Namun Danto sendiri tidak menawarkan analisis filosofis yang berkembang tentang perwujudan artistik, baik proses maupun kriteria keberhasilan.
Sikap khasnya adalah mengamati dari persimpangan filsafat dan kritik.
Strateginya adalah dengan lembut dan ramah memaksa kritik seni untuk menghadapi abstraksi dan generalisasi implisitnya sendiri, sementara secara persuasif mendorong filsafat untuk terlibat dengan hal-hal khusus yang membingungkan dari dunia seni.